JAYAPANGUS WEB

JAYAPANGUS merupakan media komunikasi muda Hindu. diterbitakn sejak akhir januari 2006 oleh KMHD ISI Yogyakarta. hubungi kami di: E-mail: red_jayapangus@yahoo.co.id phone :08175495575

Thursday, August 24, 2006

Seklumit bekal dari Leluhur

”Basa ngelmu, mupakate lan panemu
Pasahe lan tapa
Yen satria tanah Jawi
Kuna-kuna kang nginilut tri-prakara”


“Lila lamun, kelangan nora gegetun
Trima yen ketaman
Sak serik sameng dumadi
Tri legawa nalangsa srah ing Bathara”


(Serat Wedhatama, 42, 43)

Serat Wedhatama adalah sebuah karya sastra peninggalan Beliau Sri Paduka Mangkunagoro IV. Karya agung yang terdiri dari 100 pada (bait), merupakan salah satu pedoman pandangan hidup dalam hal kebijaksanaan. Wedha artinya pengetahuan, Tama berarti utama, jadi serat yang Beliau tuliskan ini merupakan “pengetahuan utama”.
Mengulas apa yang dituliskan oleh Beliau dalam bait 42 dan 43, jika diterjemahkan secara bebas akan bermakna “seharusnya ilmu apa pun yang kita dapati dalam hidup ini sebaiknya merupakan hasil dari pencaharian dan pengalamaman pribadi. Penerapan ilmu dalam kehidupan sehari-hari akan menghasilkan tiga sifat utama yang seharusnya dimiliki oleh anak bangsa ini yaitu Rela, dalam artian tidak menyesal apabila kehilangan sesuatu; Menerima yang artinya tetap sabar (mempertahankan sesuatu yang diperjuangkan) dan tidak mudah marah. Terakhir adalah Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Bhatara”. Coba kita sedikit renungkan adakah kompetensi kedua bait dalam serat ini yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Ilmu merupakan hasil dari pendidikan, para leluhur kita telah menyuratkan bahwa orang yang berilmu akan tercermin dari tiga sifat utama yang dia miliki, tapi apa yang terjadi saat ini, apakah ilmu yang telah kita dapatkan bisa mencerminkan ketiga sifat utama tersebut?. Apa yang terjadi pada lembaga pendidikan kita sekarang ini? Adakah ketiga nilai ini dijadikan sebagai penilaian keberhasilan kita dalam mendidik anak bangsa ini. Ataukah penilaian kita hanya terbatas kepada Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika (seperti halnya polemik yang terjadi belakangan ini).
Ternyata “Alam” lebih jeli dari pada kita. Untuk melakukan penilaian apakah anak bangsa ini telah berilmu atau belum, alam menguji kita dengan bencana yang telah terjadi di Indonesia. Ujian alam ini akan dapat menilai seberapa besar tingkat keberilmuan yang dimiliki oleh anak bangsa ini. Alam menilai seberapa rela anak bangsa ini jika kehilangan sesuatu (baik yang kena bencana maupun kerelaan saudaranya yang tidak terkena bencana untuk mengulurkan tangannya). Bisakah kita semua menerima apa yang menimpa bangsa ini sebagai hasil dari apa yang kita tanam sendiri (bukan saling menyalahkan) dengan cara penyerahan diri sepenuhnya kepada Bhatara. Bekal sifat yang berharga inilah yang diwariskan oleh leluhur kita. Tertulis dalam kedua bait serat Wedhatama yang dapat kita jadikan sebagai “panduan” disaat kita semua menghadapi bencana, sehingga bukan keterpurukan yang akan kita songsong, tapi optimisme bahwa kita bisa bangkit dari setiap bencana yang menghampiri.
Pada akhirnya saya sempat berfikir apa yang menyebabkan Sri Paduka Mangkunagaran IV mencantumkan kedua bait ini dalam karya Beliau, apakan hal ini menunjukan bahwa Beliau sudah memahami apa yang akan dan mungkin terjadi pada tanah yang pernah Beliau singgahi ini, sehingga Beliau membekali kita (anak cucunya) ilmu yang utama seperti ini?. Entahlah, yang pasti masih banyak lagi warisan ilmu dari leluhur, yang bisa kita jadikan bekal untuk “bercengkrama” dengan alam bumi pertiwi, secara damai dan saling menghargai antar ciptaan Nya. Galilah…dan Ibu pertiwi menunggu anak-anaknya bangkit dari setiap cobaan dan bencana yang mengunjungi, untuk kembali membawa beliau ke “Tahta Keagungan Sang Ibu Pertiwi” yang pernah beliau capai bersama leluhur kita, semoga….

Nb : Serat Wedhatama ini saya kutip dari buku “Wedhatama Bagi Orang Modern” Karya Anand Krishna.


Vande Mataram
giri

Sunday, August 20, 2006

WAWANCARA PUU APP

Prof. I Made Bandem
Indonesia adalah Negara yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, ras, Agama maupun golongan yang membentang luas dari sabang sampai merauke. Perbedaan menjadi hal yang lumrah dalam konsep bangsa yang Berbhineka tunggal Ika. Tidak ada yang dominan dan tidak ada yang merasa tertindas, semua berhak diakui dan mendapat perlindungan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Indonesia. Sehingga ketika muncul pembahasan RUU pornografi pornoaksi oleh wakil rakyat di DPR, banyak memunculkan pro maupun kontra diberbagai kalangan masyarakat.
Propinsi Bali yang sebagaian besar masyarakatnya beragama Hindu, dengan tegas menyatakan menolak RUU pornografi pornoaksi itu. Keseriausan sikap masyarakat Bali ditunjukkan dengan berbagai aksi penolakan didaerah hingga kemudian mengirimkan delegasi ke Jakarta. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan begitu kerasnya mereka menolak RUU tersebut, berikut kami hadirkan wawancara eklusive dengan Prof. I Made Bandem salah satu orang dari lima orang delegasi yang berangkat ke Jakarta
.
Apa dasar alasan bapak atau masyarakat bersikap menolak terhadap RUU pornografi dan pornoaksi itu?
Jadi ada tiga alasan (masyarakat Bali) menolak RUU itu, yaitu pertama karena alasan sosiokultural atau latar belakang Budaya. Kedua karena alasan Hukum antara lain dari prosedur: cacat karena tidak disertai dengan rancangan akademik (academic drafting), dan mestinya sudah disosialisasikan dengan masyarakat umum tidak hanya dengan golongan tertentu saja. lalu substansi – bahwa batasan-batasan pornografi/pornoaksi maupun sexual dalam RUU itu masih kurang jelas dan ini berbahaya jika sampai UU memiliki rumusan yang tidak jelas. Kemudian bias jender – yang dikorbankan kok wanita semua, susu gak bisa ditampilkan, pinggul gak bisa digoyangkan, ini kenanya wanita-wanita, bias jender itu. Lalu laki-laki kan gak ada yang kena! Kemudian logika : mengatur dengan ketentuan setiap orang, bukan barang siapa. Dan yang terakhir atau yang ketiga yaitu dari segi urgensi – rakyat sedang mengalami kemiskinan, pendidikan tidak begitu maju – banyak sekali sebenarnya persoalan-persoalan yang bisa dihadapi yang belum diselesaikan pemerintah, lebih baik NKRI ini memprioritaskan pembahasan itu terlebih dahulu.

Jadi RUU pornografi/pornoaksi ini memang belum mendesak untuk disahkan menjadi UU ?
Ya, seperti yang bapak jelaskan tadi, di tengah kehidupan bangsa dan negara yang kini sedang dalam keadaan serba sulit dengan masalah-masalah yang sangat strategis dan mendasar, pembahasan RUU pornografi dan pornoaksi ini menjadi tidak urgent. Disamping itu, memang sudah ada UU yang mengatur soal pornografi dan pornoaksi itu, KUHP namanya. Disitu sudah ada landasan maupun solusinya, dari sekian pasal dalam KUHP itu hampir 12 pasal nantinya akan menyangkut tentang masalah pornografi,pornoaksi itu. UU pokok pers Misalnya, masalah ini kan sebenarnya erat kaitannya dengan media, kalau sudah media yang mau menampilkan seperti itu ya....akhirnya menjadi seperti itu.

Bagaimana dengan lemahnya penegakan hukum?
Saya rasa memang benar, masih lemahnya penegakan hukum di negara kita. Hal itulah yang perlu kita tingkatkan atau low enforcement. Karena dengan KUHP saja sekarang kita sudah bisa menyalahkan orang yang tidak sopan atau telanjang di depan umum misalnya - Ada UU penyiaran, ada perfilman nasional, kita punya badan sensor film, tidak pernah digunakan dengan baik! Lalu mengoptimalkan lagi petugas-petugasnya itu; pihak polisi RI, Dewan Pers, Badan Sensor film perlu ditegaskan fungsinya. Itu saja yang penting , kenapa harus UU...? jadi akan mubasir dan membutuhkan orang yang banyak sekali membentuk suatu petugas atau badan-badannya itu, badan anti pornografi pornoaksi. Buat polisi lagi....!, sudah ada polisi umum, polisi pariwisata, polisi antipornografi pornoaksi dibuat lagi, jangan-jangan nantinya memperlebar korupsi lagi, ha ha ha.... .

Kita tahu negara ini dari segi sosiokultural sangat beragam termasuk pandangan tentang ketelanjangan, malah di Bali sering dijumpai kesenian yang mengekpos ketelanjangan, bagaimana pendapat bapak?

Memang kita hidup dalam beragam budaya dan setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap suatu hal. Khususnya di Bali, ketelanjangan kita maknai sebagai makna simbolik. Sehingga ini sering menjadi tema-tema dalam kesenian, baik itu seni rupa maupun seni pertunjukan. Kita jangan hanya melihat ketelanjangan secara fisik yang merangsang birahi sexual bukan seperti itu! harus ada tafsir-tafsiran dalam konteks ritual dan dengan konteks Lingga dan Yoni. – patung Datonta yang terdapat di Trunyan misalnya, itu kan patung setinggi empat meter telanjang, di bawahnya ada lubang (Yoni), jadi inikan simbol kreativitas atau kesatuan antara laki dan perempuan bisa munculkan keharmonisan. Jadi dari situ kita melihat “Purusa/Pradana” sehingga kalau ini dilarang, jelas secara kultural dan agama tidak benar.

Apa yang sebaiknya yang kami lakukan sebagai generasi muda menyikapi masalah ini, apakah perlu mengadakan demo?

Ya... setidaknya membuat suatu stetemant yang dimaksudkan kepada pansus di DPR yang membahas soal ini. Hal ini perlu....! dan semakin banyak orang memberikan statement penolakan, saya rasa akan semakin baik. Karena keragaman budaya kurang mendapat perhatian dalam RUU ini ; tidak menghargai orang Irian, orang Bali dll. Kalau di Bali kemarin masyarakat mengadakan demo besar-besaran, ketika pansusnya datang ke Bali untuk bertemu bapak Gubernur dan beliau sudah pasti menolak RUU ini, dan di luar pertemuan ini masyarakat mengadakan berbagai aksi penolakan yang bersifat damai, di Kuta misalnya mereka mengadakan pagelaran 25 grup band, hal ini menjadikan Bali mendapat pujian dari berbagai daerah termasuk jogja sendiri menjadi kagum akan perjuangan yang di lakukan di Bali.

Kita umat Hindu telah mengenal adanya ajaran sexualitas seperti yang terdapat dalam kitab Kama Sutra, Bagaimana pendapat Bapak tentang Hal itu ?

Mengenai sexualitas dalam Hindu, dalam Kama Sutra disebutkan : sexualitas adalah penting bagi kehidupan manusia, seperti halnya makanan perlu untuk kesehatan badan, dan seksualitas mereka bergantung pada artha dan dharma. Menurut Hindu, makna seks atau seksualitas bukanlah sesuatu yang kotor, jahat, atau hina. Membicarakan, memperlihatkan dan melakukan pada tempat waktu dan situasi serta kondisi (desa, kala, patra) yang tepat adalah “sah”. Seks penting untuk mencapai totalitas atau kesempurnaan, untuk memupuk rasa percaya diri, keberanian, memperhalus kepribadian dan rasa termasuk welas asih.

Lalu seringnya kita temuai penggambaran Lingga dan Yoni?

Dalam ikonografi Hindu penggambaran alat kelamin (phalus atau lingga) dan alat kelamin wanita (yoni) dalam seni rupa adalah melambangkan api atau kekuasaan dan bumi, yang apabila kedua unsur itu bersatu akan menghasilkan kekuatan atau energi.

Sebenarnya apakah Hindu memiliki suatu konsep jelas yang ada hubungannya dengan pornografi, pornoaksi?

Hindu memiliki konsep yang sangat jelas ketika memaknai pornografi dan pornoaksi. Ini dapat kita lihat dalam Manawa Dharmasastra setidaknya ada empat ayat suci dan dalam Kama Sutra terdapat tiga ayat suci yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi. Contoh : memberikan sesuatu yang merangsang wanita lain, bercanda cabul dengannya, memegang busana dan hiasannya, serta duduk ditempat tidur dengannya adalah perbuatan yang (hukumnya) harus dianggap sama dengan berzina (Manawa Dharmasastra VII.357). itu saja sudah diaanggap berzina bagi umat Hindu, apalagi yang pulgar itu atau seronok. lalu dalam Kama Sutra : hendaknya bagian yang sensitif dari tubuh ini jangan diperlihatkan, karena hal itu akan merusak mental dari orang yang melihatnya (Kama Sutra III.12). tidak perlulah kita persoalkan hal itu, karena sudah diajarkan dari kecil, makanya pendidikan moral itu penting bukannya UU.

WAWANCARA LK SURYANI

PERJUANGAN R.A. Kartini yang berlandaskan perjuangan emansipasi ternyata tidak terhenti ketika meninggalnya tokoh nasional ini. Seiring dengan perkembangang zaman, perjuangan Kartini masih hidup di dalam jiwa kaum perempuan Indonesia yang senantiasa mengaktualkan makna emansipasi ini.
Adalah LK Suryani salah seorang tokoh wanita yang sudah cukup terkenal kiprahnya di dunia perjuangan emansipasi perempuan khususnya di Bali. Ini ditunjukkan dengan terpilih menerima penghargaan citra kartini bersama 20 tokoh yang terbukti mampu berkarya dan berprestasi sehingga berdampak positif bagi keluarga, lingkungan, negara, dan bangsanya. Ketika JP untuk pertama kalinya mengubungi beliau melalui pesawat telepon, terdengarlah suara yang lembut penuh ketenangan menyapa dengan sangat bersahaja, bak seorang ibu menyapa anaknya kami merasa didekap dalam kehangatan, mungkin inilah suara kehangatan seorang ibu….Profesor sekaligus dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana bidang psikiatri ini, ditengah-tengah kesehariannya sebagai seorang ibu rumah tangga, juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Selain sebagai psikiater istri dari Prof. Dr. dr. Tjokorda Alit K, Sp.FK. ini juga dikenal sebagai pengajar meditasi dan aktif dalam aksi demonstrasi sebelum masa reformasi hingga sampai saat ini. Dia juga aktif menulis, baik di majalah ilmiah kedokteran maupun media massa. Untuk mengetahui pandangan dan harapan-harapan tentang emansipasi wanita dari seorang tokoh wanita yang dibesarkan oleh kentalnya budaya Bali ini, berikut JP hadirkan petikan tanya jawab dengan LK Suryani

- Apakah yang kira-kira menjadi penyebab masih sangat sedikitnya wanita Hindu (Bali) yang bisa berkiprah di pentas nasional maupun internasional?

Apakah Cuma perempuan Bali saja yang sedikit berkiprah dipentas nasional atau internasional?
Saya rasa perempuan dan laki-laki Bali sama, sama-sama sedikit berkiprah, selain jumlahnya sedikit dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, juga karena keberanian untuk tampil beda, berani menghadapi tantangan, kemampuan ngomong, dan kemampuan untuk bersaing masih kurang. Pendidikan yang diberikan kepada anak hanya mengajarkan hidup, rukun, damai, sehimbang dan selaras serta menjaga hubungan baik. Padahal kehidupan ini seperti di hutan, penuh dengan tantangan, kekerasan dan kekejaman.

- Bagaimana dengan masih kuatnya budaya patriarkhi, apakah menjadi salah satu penghalang bagi wanita untuk mengembangkan diri?

Saya kira tidak… Patriarchat adalah system untuk mengatur kehidupan antara laki-laki dan perempuan agar tidak saling berantakan. Kalau tidak dibuat system apakah Patriarchat atau matriarchat tertentu kalau mereka menikah harus mengemban dua tugas yaitu tugas di pihak suami dan dipihak istri. Sedangkan tugas seseorang tidak hanya untuk keluarga, tetapi juga untuk dirinya dan masyarakat luas.
Sekarang tergantung perempuan itu sendiri, mampukah ia mengembangkan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki untuk menyiasati budaya yang mengatur hidupnya? Tidaklah pantas menyalahkan budaya yang dianggap penghalang di dalam mengembangkan dirinya. Kalau perempuan itu berani, mempunyai kemampuan taktik dan strategi, justru budaya yang dimilikinya mampu mengembangkan dirinya menjadi suatu keunikan yang bisa mengantarkan dirinya menjadi orang yang diperhitungkan.

- Bagaimana pendapat ibu dengan adanya pendapat bahwa emansipasi atau kesetaraan gender ini berakibat pada semakin sedikitnya waktu yang dimiliki wanita (ibu) dalam mendidik anak dan mengurus rumah tangga?

Kalau menggunakan difinisi masyarakat Hindu Bali keseimbangan dan keharmonisan, maka tidak ada istilah kekurangan waktu. Laki-laki dan perempuan akan melakukan tugasnya dalam mendidik dan mengurus rumah tangga sesuai dengan kemampuan dan keadaan rumah tangganya. Kalau ia sebagai istri dan ibu mempunyai kemampuan berjualan dan harus bekerja diluar rumah, sedangkan laki-laki sebagai suami dan bapak hanya mampunyai kemampuan sebagai petani, maka urusan rumah tangga dan mendidik anak akan dikerjakan oleh suaminya. Mereka tidak memperdebatkan ini tugas laki-laki dan ini tugas perempuan, tetapi siapa yang sempat dan mampu ia akan mengerjakan. Yang penting bisakah mereka bekerja sebagai sebuah tim dalam keluarga. Keadaan ini dapat dilihat dari pungkusan (nama panggilan) yang diberikan kepada mereka yang sudah mempunyai anak, misalnya Men Warni dan Pan Warni (bila nama anak pertama mereka adalah Wayan Warni) tanpa memandang apakah ia anak laki-laki atau perempuan. Di dalam keluarga tidak lagi membicarakan apakah ia laki-laki atau perempuan, tetapi mereka adalah seorang ibu dan seorang bapak dari anak-anak yang mereka lahirkan.

- Lalu bagaimana pandangan ibu atas perkembangan emansipasi sekarang, Sudahkah mengalami kemajuan atau malah mengalami kemunduran?

Tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Kalau dinilai dari pandangan emansipasi Barat, tentu apa yang terjadi dimasyarakat Bali Hindu belum maju. Tetapi kalau memandang dari pandangan masyarakat Bali Hindu yang mengartikan emansipasi adalah keseimbangan dan keharmonisan fungsi antara laki-laki dan perempuan, maka kondisi perempuan Bali Hindu bertambah mundur. Mereka mengutamakan kepentingan individu sebagai perempuan. Hanya menuntut persamaan hak dan kewajiban.

- Bagaimana semestinya perempuan menyikapi emansipasi tersebut?

Saya yang dibesarkan oleh budaya Bali, tentu berharap perempuan Bali jangan sampai kebablasan, melupakan budaya yang membesarkan, melupakan nilai-nilai yang ditanamkan leluhur Bali. Saya berharap maukah perempuan Bali memahami apa yang diberikan oleh para leluhur Bali sebelum mengatakan itu tidak baik, tidak cocok, dan lain-lain kecaman. Benarkah budaya Bali Hindu tidak memahami emansipasi? Setelah memahami dari sudut budaya Hindu Bali, barulah kita memahami apa yang ada diluar bali. Tentu kita akan meniru apa yang dilakukan oleh leluhur untuk menjadikan lebih sempurna, yakni mempertahankan apa yang dimiliki sebagai identitas diri dan mengambil apa-apa yang dianggap baik disesuaikan dengan waktu, tempat, dan keadaan. Emansipasi yang ada diluar bali akan menjadi keunikan dari kita.

- Menurut ibu sudahkah ajaran Hindu memberi ruang yang sama kepada kaum wanitanya

Ajaran Hindu membedakan peran laki-laki atau perempuan, bila dilihat dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Bagaimana Dewi Kunti dihormati oleh putra-putranya, bagaimana srikandi turun ke medan perang dan Shita membuktikan keagungan cintanya pada Rama. Yang banyak menonjolkan fungsi mereka

- Kalau begitu setujukah anda atas pernyataan bahwa perempuan hanya dijadikan obyek laki-laki?
Saya tidak setuju... Kalau mau berfikir obyektif dan mau melihat dari segi positifnya, budaya Bali adalah budaya yang luar biasa hebatnya. Menghargai dan menempatkan perempuan sebagai kaum yang kuat yang bisa sejajar dengan kaum laki-laki. Mari kita lihat dalam upacara agama, apakah ada yang menempatkan seorang pendeta/pedanda istri lebih rendah atau bodoh dibandingkan dengan Pedanda Lanang (laki-laki)? Seorang bisa menjadi pedanda kalau suami istri siap menjadi pedanda. Demikian pula pada upacara lainnya di pura, perempuan yang didahulukan. Upacara di Pura Samuan Tiga, Perang sampian dimulai dengan keluarnya perempuan-perempuan menari dan kemudian disusul oleh laki-laki. Demikian pula dalam upacara lainnya, Rejang yang ditarikan oleh perempuan disusul dengan tarian dari laki-laki seperti Tari Baris. Kalau perempuan melahirkan, maka selama 1 bulan 7 hari tidak diperkenankan ke dapur, hanya mengurus anak. Budaya Bali memahami perempuan yang habis melahirkan harus menyusui anaknya sepenuhnya dan memberikan kasih sayang. Banyak lagi contoh lainnya. Sekarang tergantung memandangnya, dari budaya bali atau dari nilai budaya Barat atau budaya suku lainnya?

- Apakah yang perlu dilakukan wanita pada khususnya dan seluruh anggota masyarakat agar terwujudnya kesetaraan gender ini?

Jalani ajaran dan nilai-nilai yang telah diberikan oleh leluhur Bali. Pelajari budaya Bali yang berdasarkan agama Hindu dengan seksama. Gunakan pemahaman dengan dasar budaya Bali, bukan budaya luar Bali. Jika bisa memahami, maka anda pasti setuju budaya Bali telah mempraktekkan emansipasi, telah mempraktekkan kesetaraan gender dalam pemahaman seimbang dan harmonis.

- Apa harapan ibu kepada wanita Hindu dimasa mendatang?

Maukah perempuan Bali meningkatkan kemampuan logika dan intuisi bersama-sama, meningkatkan kemampuan komunikasi, meningkatkan semangat juang dan menyeimbangkan kebutuhan spiritual dan material.
Perempuan sebagai individu tetap bisa mengembangkan karier dan mengabdi pada Bali sebagai tanah leluhur. Karier tidak harus si kantor atau perusahaan. Tugas didalam rumah tangga pun bisa sebagai karier yang profesional kalau mau mempelajarinya. Maukah perempuan Bali kembali pada ukuran bahwa keberhasilan perempuan dalam hidup ini dilihat dari keberhasilannya melahirkan anak-anak yang berkualitas, mempunyai keluarga bahagia yang bisa bekerja sebagai sebuah tim bersama suami dan anak-anaknya. Laki-laki adalah partner di rumah tangga dan masyarakat. Tidak ada yang akan menanyakan, “Berapa jumlah rumah yang anda miliki…? Berapa uang yang ada di bank…?” orang akan menanyakan “Bpakah anda sudah menikah…? Berapa anak yang anda miliki…? Apakah anak-anak sudah berkeluarga…? Berapa cucu anda miliki…?, dst.,dst.”

Lakukan Sesuatu Untuk Kaum Dan Agama-mu

“Emansipasi”, kata ini begitu lekat dengan individu yang kita sebut wanita., mendengar kata tersebut akan terbesit sesuatu hal tentang kesetaraan gender. Wanita sebagai kaum feminisme yang selalu dianggap lemah, dari waktu kewaktu menginginkan sebuah kesetaraan gender di berbagai aspek baik itu politik, sosial maupun pekerjaan. Kesetaraan yang didamba-dambakan oleh kaum wanita ini tidak akan dapat terwujud selama kaum wanita tersebut hanya pasrah dan berdiam diri dengan keadaan yang dia dapatkan. Diskriminasi yang selalu dilakukan terhadap kaum wanita membuat kaum wanita lebih terbelakang dan mendapat hak-hak yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Sungguh ini dirasakan sangat tidak adil bagi kaum wanita. Kalaupun memang benar pada kenyataan wanita dan laki-laki terlahir dengan kodrat yang berbeda, dimana seorang wanita dengan tugas utamanya menjaga rumah, memelihara dan menjaga anak sedangkan laki-laki sebagai sosok yang kuat, kokoh dan perkasa bekerja untuk menafkahi keluarga tetapi tetap saja antara laki-laki dan perempuan tidak boleh ada hubungan subordinasi karena wanita dan laki-laki terlahir di dunia ini dengan harkat dan martabat yang sama di mata Tuhan.
Berbagai usaha dan pergerakan telah dilakukan oleh tokoh-tokoh wanita yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita seperti halnya RA.Kartini, Indira Gandhi, LK.Suryani. lalu bagaimana dengan para penerusnya, apakah kita sebagai generasi muda Hindu yang terlahir di dunia ini dengan jenis kelamin wanita akan menghentikan perjuangan mereka yang rela berjuang mati-matian demi sebuah pembebasan diri dari ketidakadilan, ketidakmampuan, penindasan-penindasan atau eksploitasi terhadap kaumnya dan demi sebuah kesetaraan gender yang didamba-dambakan
Emansipasi wanita yang sedari dulu telah didengung-dengungkan oleh para aktivis gender jangan sampai membuat mata kita tertutup untuk berdiam diri dan berpangku tangan dan menyerahkan sepenuhnya masa depan kita di tangan para aktivis tersebut, karena belum tentu apa yang menjadi kepentingan kita selaku wanita Hindu akan tersalurkan melalui mereka. Sebagai wanita Hindu yang memimpikan dan menginginkan sebuah kesetaraan dalam mengecam hak-hak yang seharusnya kita nikmati, dapat kita lakukan dengan menunjukkan eksistensi dan keberadaan kita sebagai wanita Hindu. Apalagi di Hindu pun kita selaku wanita memiliki kedudukan yang mulia, karena wanita adalah sebuah cahaya yang dapat menyinari keluarga, dalam Veda pun telah mengatur tentang keutamaan dan pentingnya peran wanita dalam sebuah keluarga.
Untuk menunjukkan keberadaan kita sebagai wanita Hindu yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap usaha pencapaian kesetaraan gender di mata masyarakat dapat kita lakukan dengan cara memberikan sebuah kontribusi minimal bagi Agama kita sendiri, dalam hal ini harus dipikirkan tentang apa yang bisa kita berikan dan kita lakukan untuk dapat memajukan Agama Hindu. Sebenarnya sangat banyak hal yang dapat kita lakukan demi memajukan Agama Hindu, mulai dari memahami ajaran Veda secara lebih mendalam dan tidak setengah-setengah, dimana kemudian akan kita aplikasikan pada diri kita sendiri , keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara yang nantinya akan menjadi swadharma kita sebagai seorang wanita, sekaligus nantinya akan menjadi ibu dan merupakan bagian dari masyarakat. Sehingga pada akhirnya diharapkan dengan modernisasi positif berasaskan Veda yang diterapkan oleh Wanita Hindu, derajat dan kedudukan wanita Hindu akan semakin terangkat dan tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat. "SEMOGA"



Oleh: Putu Indira(FH-UGM)

PROFIL

IDHA SARASWATI :
“ Dunia di luar pagar kampus ternyata memang sangat rumit”

Pendiam dan sedikit pemalu adalah kesan pertama ketika bertemu cewek yang paling suka saat seorang diri di tempat yang sepi sambil ditemani musik dan novel tebal. Penampilan yang selalu santai kadang rada tomboy, menyiratkan sifatnya yang aktif dan senang berpartispasi dalam berbagai organisasi dan lembaga, terutama yang bersifat sosial. Hobi menulisnya mampu mengantarkan dara kelahiran Karanganyar, 13 Februari 1983 ini menduduki posisi pemimpin redaksi (Pemred) Balairung selama satu tahun.

Lebih dari 3 tahun Ida, begitu sapaan akrabnya, berkecimpung di Balairung, sebuah lembaga pers mahasiswa UGM. Berangkat dari seorang reporter, karir Ida meningkat menjadi pemred newsletter Balairung Koran, hingga akhirnya terpilih menjadi pemred Balairung. Jabatan pemimpin umum (PU) Balairung hampir didudukinya, namun apa daya kalah suara dalam pemilu saat itu. Setelah menjalankan tugas sebagai pemred Balairung selama setahun, kini ia menduduki posisi sebagai redaktur senior.

Aktivitasnya di dunia jurnalistik tidak hanya di Balairung saja. Mahasiswa semester 8 Ilmu Hubunagn Internasional UGM Sekaligus EEC Sanata Dharma Yogyakarta ini juga aktif menuangkan idenya pada majalah Suluh yang diterbitkan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) dan menjadi koordinator redaksi majalah alumni UGM Kabare Kagama. Di kampusnya sendiri, Ida sempat bergabung dalam Forum Indonesia Akur (FIA) yang dirintis oleh teman-teman Muslim dan Katoliknya. Tak jauh berbeda dengan FPUB yang sering mengangkat isu-isu multikulturalisme, FIA pun merupakan forum yang mengangkat isu-isu diseminasi wacana perdamaian antar agama-iman-.

Bagi pemilik nama lengkap Idha Saraswati Wahyu Sejati, keterlibatannya dalam forum-forum tersebut awalnya hanya diajak oleh teman-temannya. Namun, karena isu-isu yang sering diangkat sangat multikultur dan memiliki visi perdamaian maka cewek yang hobi baca novel, nulis, ngayal, dan jalan-jalan ini pun merasa cocok, “Sebenarnya nggak ada ketertarikan khusus, aku suka isu-isu multikulturalisme, dan forum-forum yang kayak gitu emang concern ke sana. Cuma aku masuk kesana gara-gara diajak, yeah…mungkin karena identitas Hinduku. Mereka susah nyari orang Hindu yang mau ke forum kayak gitu, dan emang seharusnya ada suara Hindu dalam forum-forum kayak gitu, meski aku nggak mau jadi representasi Hindu disitu. Aku kesitu karena emang tertarik pada isu-isunya.”

Ketika JP menanyakan pendapatnya tentang emansipasi perempuan, pengagum Mahatma Gandhi dan Bung Hatta ini menjawab, “Emansipasi bukan soal perempuan lebih aktif atau gimana, tapi lebih dari itu, soal pola pikir perempuan itu sendiri dan masyarakat. Soal konstruksi tentang peran perempuan gitu lah! Tapi aku orang yang sepakat akan kesetaraan jender, dan aku adalah generasi yang lebih beruntung daripada perempuan-perempuan sebelumku, mungkin sih.” Cara berpikirnya yang terbuka seperti itu pulalah yang membuatnya berpendapat bahwa untuk membuat prestasi tak harus melulu melalui berbagai lomba namun dapat diciptakan dalam wujud partisipasi aktif dalam berbagai kegiatan atau forum-forum dan lembaga-lemabag yang bertujuan untuk kemajuan, kesejahteraan, dan perdamaian, yang intinya menuju kehidupan yang lebih baik. Bersama teman-temannya, Ida mewujudkan kepeduliannya pada hal-hal yang bersifat sosial itu dengan merintis sebuah lembaga bernama “Jana Kalyana” yang berkonsentrasi pada pemberdayaan ekonomi umat Hindu di wilayah Karesidenan Surakarta. “Ini pekerjaan idealis dan penuh mimpi. Dunia di luar pagar kampus ternyata memang sangat rumit.” perempuan.(pea)

Peranan Wanita Dulu dan Kini

Dimuat pada JAYAPANGUS edisi emansipasi wanita hindu April 2006

Seiring dengan berjalannya waktu, fungsi dan peranan wanita dalam kehidupan social masyarakat kita mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sekarang ini banyak wanita yang memegang posisi/jabatan suatu pekerjaan yang dulu selalu diisi oleh pria, banyak pula wanita
mampu menjadi tokoh masyarakat yang dulu peranan ini hanya dimiliki pria, dan masih banyak lagi prestasi wanita yang sudah mampu menyamai prestasi pria. Era kebangkitan kaum Hawa ini sering diistilahkan dengan emansipasi wanita. Kebangkitan yang menuntut persamaan gender/peranan dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu arti yang sangat mulia dan patut untuk dimengerti pemahamannya.
Dalam ajaran Hindu yang berdasarkan pada Weda, wanita dan pria adalah makhluk yang memiliki kedudukan yang sama. Sama-sama untuk bisa menghormati dan dihormati sesuai dengan peranan/fungsinya agar terciptanya suatu keharmonisan.
Sekarang sudah hampir semua wanita memiliki pandangan hidup yang sejajar dengan lawan jenisnya, pandangan yang mampu mengubah seseorang wanita yang lemah menjadi wanita yang kuat. Emansipasi Wanita. Tetapi kadang-kadang ada juga orang yang salah mengartikan emansipasi dalam pengertian yang sempit. Mengartikan emansipasi untuk menyamai atau mengambil alih peranan dan fungsi kaum pria. Dalam pandangan penulis, Emansipasi lebih cenderung pada mengembalikan fungsi dan peranan kaum wanita dalam kehidupan sosial sesuai dengan posisi yang seharusnya, yaitu bersama-sama dengan kaum pria untuk membangun suatu keharmonisan.
Dalam banyak kasus justru pemahaman yang sempit inilah yang lebih banyak mendominasi emansipasi wanita jaman sekarang. Contoh kecil, banyak wanita yang mencari ketenaran (menjadi artis dadakan) dengan 'jalan pintas' yaitu kong kali kong dengan sang produser, wanita yang bekerja mencari nafkah sampai-sampai (maaf) menjual diri hanya demi mendapatkan kekayaan dengan cepat. Seorang ibu giat bekerja mengejar karier sampai mengabaikan tugasnya pada keluarga dengan alasan agar bisa menyamai pendapatan suami. Ilustrasi di atas hanya sebagian dari begitu banyaknya kasus lain akibat dari pemahaman yang sempit tentang 'era kebangkitan wanita'. Begitu pula dengan kaum pria lebih cenderung memanfaatkan keadaan yang demikian untuk kepentingan sendiri tanpa memperhatikan aspek lain yang justru akan merugikan anak cucunya. Karena apabila hal ini berlanjut terus menerus, maka generasi penerusnya akan menganggap hal yang salah itu menjadi hal biasa dan kemudian berkembang menjadi hal yang benar.
Penulis bukan bermaksud menyudutkan/menghakimi siapa pun (pria maupun wanita), tetapi hanya sebatas untuk mengingatkan bahwa kita manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan yang sama di mata Tuhan, tidak ada manusia yang lebih/kurang dari manusia lainnya. Jika saja kita bisa menahan diri untuk tidak memenuhi hasrat "egoisme duniawi" dan mampu menjalani peran kita masing-masing, penulis kira tidak akan ada lagi perdebatan yang saling menghancurkan di antara kita. Cobalah untuk menemukan 'jati diri' masing-masing agar kita tahu apa peran/fungsi kita yang sesungguhnya. Karena setiap Pria maupun Wanita yang lahir di dunia ini sudah memiliki perannya masing-masing.

---Tulisan ini dibuat hanya untuk mengomentari realita sosial yang
sedang berlaku dimasyarakat dan muncul dari pemikiran- pemikiran
penulis yang serba terbatas.---



by Dodik-Akakom

om swastyastu

Selamat Datang di Web JAYAPANGUS