WAWANCARA PUU APP
Prof. I Made Bandem
Indonesia adalah Negara yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, ras, Agama maupun golongan yang membentang luas dari sabang sampai merauke. Perbedaan menjadi hal yang lumrah dalam konsep bangsa yang Berbhineka tunggal Ika. Tidak ada yang dominan dan tidak ada yang merasa tertindas, semua berhak diakui dan mendapat perlindungan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Indonesia. Sehingga ketika muncul pembahasan RUU pornografi pornoaksi oleh wakil rakyat di DPR, banyak memunculkan pro maupun kontra diberbagai kalangan masyarakat.
Propinsi Bali yang sebagaian besar masyarakatnya beragama Hindu, dengan tegas menyatakan menolak RUU pornografi pornoaksi itu. Keseriausan sikap masyarakat Bali ditunjukkan dengan berbagai aksi penolakan didaerah hingga kemudian mengirimkan delegasi ke Jakarta. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan begitu kerasnya mereka menolak RUU tersebut, berikut kami hadirkan wawancara eklusive dengan Prof. I Made Bandem salah satu orang dari lima orang delegasi yang berangkat ke Jakarta
.
Apa dasar alasan bapak atau masyarakat bersikap menolak terhadap RUU pornografi dan pornoaksi itu?
Jadi ada tiga alasan (masyarakat Bali) menolak RUU itu, yaitu pertama karena alasan sosiokultural atau latar belakang Budaya. Kedua karena alasan Hukum antara lain dari prosedur: cacat karena tidak disertai dengan rancangan akademik (academic drafting), dan mestinya sudah disosialisasikan dengan masyarakat umum tidak hanya dengan golongan tertentu saja. lalu substansi – bahwa batasan-batasan pornografi/pornoaksi maupun sexual dalam RUU itu masih kurang jelas dan ini berbahaya jika sampai UU memiliki rumusan yang tidak jelas. Kemudian bias jender – yang dikorbankan kok wanita semua, susu gak bisa ditampilkan, pinggul gak bisa digoyangkan, ini kenanya wanita-wanita, bias jender itu. Lalu laki-laki kan gak ada yang kena! Kemudian logika : mengatur dengan ketentuan setiap orang, bukan barang siapa. Dan yang terakhir atau yang ketiga yaitu dari segi urgensi – rakyat sedang mengalami kemiskinan, pendidikan tidak begitu maju – banyak sekali sebenarnya persoalan-persoalan yang bisa dihadapi yang belum diselesaikan pemerintah, lebih baik NKRI ini memprioritaskan pembahasan itu terlebih dahulu.
Jadi RUU pornografi/pornoaksi ini memang belum mendesak untuk disahkan menjadi UU ?
Ya, seperti yang bapak jelaskan tadi, di tengah kehidupan bangsa dan negara yang kini sedang dalam keadaan serba sulit dengan masalah-masalah yang sangat strategis dan mendasar, pembahasan RUU pornografi dan pornoaksi ini menjadi tidak urgent. Disamping itu, memang sudah ada UU yang mengatur soal pornografi dan pornoaksi itu, KUHP namanya. Disitu sudah ada landasan maupun solusinya, dari sekian pasal dalam KUHP itu hampir 12 pasal nantinya akan menyangkut tentang masalah pornografi,pornoaksi itu. UU pokok pers Misalnya, masalah ini kan sebenarnya erat kaitannya dengan media, kalau sudah media yang mau menampilkan seperti itu ya....akhirnya menjadi seperti itu.
Bagaimana dengan lemahnya penegakan hukum?
Saya rasa memang benar, masih lemahnya penegakan hukum di negara kita. Hal itulah yang perlu kita tingkatkan atau low enforcement. Karena dengan KUHP saja sekarang kita sudah bisa menyalahkan orang yang tidak sopan atau telanjang di depan umum misalnya - Ada UU penyiaran, ada perfilman nasional, kita punya badan sensor film, tidak pernah digunakan dengan baik! Lalu mengoptimalkan lagi petugas-petugasnya itu; pihak polisi RI, Dewan Pers, Badan Sensor film perlu ditegaskan fungsinya. Itu saja yang penting , kenapa harus UU...? jadi akan mubasir dan membutuhkan orang yang banyak sekali membentuk suatu petugas atau badan-badannya itu, badan anti pornografi pornoaksi. Buat polisi lagi....!, sudah ada polisi umum, polisi pariwisata, polisi antipornografi pornoaksi dibuat lagi, jangan-jangan nantinya memperlebar korupsi lagi, ha ha ha.... .
Kita tahu negara ini dari segi sosiokultural sangat beragam termasuk pandangan tentang ketelanjangan, malah di Bali sering dijumpai kesenian yang mengekpos ketelanjangan, bagaimana pendapat bapak?
Memang kita hidup dalam beragam budaya dan setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap suatu hal. Khususnya di Bali, ketelanjangan kita maknai sebagai makna simbolik. Sehingga ini sering menjadi tema-tema dalam kesenian, baik itu seni rupa maupun seni pertunjukan. Kita jangan hanya melihat ketelanjangan secara fisik yang merangsang birahi sexual bukan seperti itu! harus ada tafsir-tafsiran dalam konteks ritual dan dengan konteks Lingga dan Yoni. – patung Datonta yang terdapat di Trunyan misalnya, itu kan patung setinggi empat meter telanjang, di bawahnya ada lubang (Yoni), jadi inikan simbol kreativitas atau kesatuan antara laki dan perempuan bisa munculkan keharmonisan. Jadi dari situ kita melihat “Purusa/Pradana” sehingga kalau ini dilarang, jelas secara kultural dan agama tidak benar.
Apa yang sebaiknya yang kami lakukan sebagai generasi muda menyikapi masalah ini, apakah perlu mengadakan demo?
Ya... setidaknya membuat suatu stetemant yang dimaksudkan kepada pansus di DPR yang membahas soal ini. Hal ini perlu....! dan semakin banyak orang memberikan statement penolakan, saya rasa akan semakin baik. Karena keragaman budaya kurang mendapat perhatian dalam RUU ini ; tidak menghargai orang Irian, orang Bali dll. Kalau di Bali kemarin masyarakat mengadakan demo besar-besaran, ketika pansusnya datang ke Bali untuk bertemu bapak Gubernur dan beliau sudah pasti menolak RUU ini, dan di luar pertemuan ini masyarakat mengadakan berbagai aksi penolakan yang bersifat damai, di Kuta misalnya mereka mengadakan pagelaran 25 grup band, hal ini menjadikan Bali mendapat pujian dari berbagai daerah termasuk jogja sendiri menjadi kagum akan perjuangan yang di lakukan di Bali.
Kita umat Hindu telah mengenal adanya ajaran sexualitas seperti yang terdapat dalam kitab Kama Sutra, Bagaimana pendapat Bapak tentang Hal itu ?
Mengenai sexualitas dalam Hindu, dalam Kama Sutra disebutkan : sexualitas adalah penting bagi kehidupan manusia, seperti halnya makanan perlu untuk kesehatan badan, dan seksualitas mereka bergantung pada artha dan dharma. Menurut Hindu, makna seks atau seksualitas bukanlah sesuatu yang kotor, jahat, atau hina. Membicarakan, memperlihatkan dan melakukan pada tempat waktu dan situasi serta kondisi (desa, kala, patra) yang tepat adalah “sah”. Seks penting untuk mencapai totalitas atau kesempurnaan, untuk memupuk rasa percaya diri, keberanian, memperhalus kepribadian dan rasa termasuk welas asih.
Lalu seringnya kita temuai penggambaran Lingga dan Yoni?
Dalam ikonografi Hindu penggambaran alat kelamin (phalus atau lingga) dan alat kelamin wanita (yoni) dalam seni rupa adalah melambangkan api atau kekuasaan dan bumi, yang apabila kedua unsur itu bersatu akan menghasilkan kekuatan atau energi.
Sebenarnya apakah Hindu memiliki suatu konsep jelas yang ada hubungannya dengan pornografi, pornoaksi?
Hindu memiliki konsep yang sangat jelas ketika memaknai pornografi dan pornoaksi. Ini dapat kita lihat dalam Manawa Dharmasastra setidaknya ada empat ayat suci dan dalam Kama Sutra terdapat tiga ayat suci yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi. Contoh : memberikan sesuatu yang merangsang wanita lain, bercanda cabul dengannya, memegang busana dan hiasannya, serta duduk ditempat tidur dengannya adalah perbuatan yang (hukumnya) harus dianggap sama dengan berzina (Manawa Dharmasastra VII.357). itu saja sudah diaanggap berzina bagi umat Hindu, apalagi yang pulgar itu atau seronok. lalu dalam Kama Sutra : hendaknya bagian yang sensitif dari tubuh ini jangan diperlihatkan, karena hal itu akan merusak mental dari orang yang melihatnya (Kama Sutra III.12). tidak perlulah kita persoalkan hal itu, karena sudah diajarkan dari kecil, makanya pendidikan moral itu penting bukannya UU.
<< Home