Seklumit bekal dari Leluhur
”Basa ngelmu, mupakate lan panemu
Pasahe lan tapa
Yen satria tanah Jawi
Kuna-kuna kang nginilut tri-prakara”
“Lila lamun, kelangan nora gegetun
Trima yen ketaman
Sak serik sameng dumadi
Tri legawa nalangsa srah ing Bathara”
(Serat Wedhatama, 42, 43)
Serat Wedhatama adalah sebuah karya sastra peninggalan Beliau Sri Paduka Mangkunagoro IV. Karya agung yang terdiri dari 100 pada (bait), merupakan salah satu pedoman pandangan hidup dalam hal kebijaksanaan. Wedha artinya pengetahuan, Tama berarti utama, jadi serat yang Beliau tuliskan ini merupakan “pengetahuan utama”.
Mengulas apa yang dituliskan oleh Beliau dalam bait 42 dan 43, jika diterjemahkan secara bebas akan bermakna “seharusnya ilmu apa pun yang kita dapati dalam hidup ini sebaiknya merupakan hasil dari pencaharian dan pengalamaman pribadi. Penerapan ilmu dalam kehidupan sehari-hari akan menghasilkan tiga sifat utama yang seharusnya dimiliki oleh anak bangsa ini yaitu Rela, dalam artian tidak menyesal apabila kehilangan sesuatu; Menerima yang artinya tetap sabar (mempertahankan sesuatu yang diperjuangkan) dan tidak mudah marah. Terakhir adalah Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Bhatara”. Coba kita sedikit renungkan adakah kompetensi kedua bait dalam serat ini yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Ilmu merupakan hasil dari pendidikan, para leluhur kita telah menyuratkan bahwa orang yang berilmu akan tercermin dari tiga sifat utama yang dia miliki, tapi apa yang terjadi saat ini, apakah ilmu yang telah kita dapatkan bisa mencerminkan ketiga sifat utama tersebut?. Apa yang terjadi pada lembaga pendidikan kita sekarang ini? Adakah ketiga nilai ini dijadikan sebagai penilaian keberhasilan kita dalam mendidik anak bangsa ini. Ataukah penilaian kita hanya terbatas kepada Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika (seperti halnya polemik yang terjadi belakangan ini).
Ternyata “Alam” lebih jeli dari pada kita. Untuk melakukan penilaian apakah anak bangsa ini telah berilmu atau belum, alam menguji kita dengan bencana yang telah terjadi di Indonesia. Ujian alam ini akan dapat menilai seberapa besar tingkat keberilmuan yang dimiliki oleh anak bangsa ini. Alam menilai seberapa rela anak bangsa ini jika kehilangan sesuatu (baik yang kena bencana maupun kerelaan saudaranya yang tidak terkena bencana untuk mengulurkan tangannya). Bisakah kita semua menerima apa yang menimpa bangsa ini sebagai hasil dari apa yang kita tanam sendiri (bukan saling menyalahkan) dengan cara penyerahan diri sepenuhnya kepada Bhatara. Bekal sifat yang berharga inilah yang diwariskan oleh leluhur kita. Tertulis dalam kedua bait serat Wedhatama yang dapat kita jadikan sebagai “panduan” disaat kita semua menghadapi bencana, sehingga bukan keterpurukan yang akan kita songsong, tapi optimisme bahwa kita bisa bangkit dari setiap bencana yang menghampiri.
Pada akhirnya saya sempat berfikir apa yang menyebabkan Sri Paduka Mangkunagaran IV mencantumkan kedua bait ini dalam karya Beliau, apakan hal ini menunjukan bahwa Beliau sudah memahami apa yang akan dan mungkin terjadi pada tanah yang pernah Beliau singgahi ini, sehingga Beliau membekali kita (anak cucunya) ilmu yang utama seperti ini?. Entahlah, yang pasti masih banyak lagi warisan ilmu dari leluhur, yang bisa kita jadikan bekal untuk “bercengkrama” dengan alam bumi pertiwi, secara damai dan saling menghargai antar ciptaan Nya. Galilah…dan Ibu pertiwi menunggu anak-anaknya bangkit dari setiap cobaan dan bencana yang mengunjungi, untuk kembali membawa beliau ke “Tahta Keagungan Sang Ibu Pertiwi” yang pernah beliau capai bersama leluhur kita, semoga….
Nb : Serat Wedhatama ini saya kutip dari buku “Wedhatama Bagi Orang Modern” Karya Anand Krishna.
Vande Mataram
giri
0 Comments:
Post a Comment
<< Home